- Sejarah Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme bukanlah satu konsep baru. Ia
berasal daripada bidang falsafah dan telah digunakan dalam bidang sosiologi dan
antropologi dan juga dalam bidang psikologi kognitif dan pendidikan. Pada tahun
1710, ahli falsafah konstruktivis yang pertama, iaitu Giambatista Vico,
mengatakan … “one only knows something if one can explainit”(Yager, 1999).
Immanuel Kant menyokong pendapat ini dan
mengatakan bahawa manusia bukanlah penerima maklumat yang pasif. Misalnya,
pelajar menerima maklumat dengan aktif, menghubungkannya dengan maklumat
terdahulu yang telah diasimilasinya, dan menjadikan maklumat itu miliknya
dengan membina kefahaman atau membuat interpretasi ke atas maklumat tersebut
(Cheek, 1992). Seterusnya, perspektif konstruktivisme ini terhasil daripada
kajian Piaget, Vygotsky, ahli psikologi gestalt, Bartlett, Bruner, Von
Glaserfeld, Anderson, Dewey, Papert dan Confrey.
Pembelajaran
bermakna (meaningful learning), mengikut John Dewey (1966), melibatkan “belajar
dengan membuat” (learning by doing), yang kemudiannya dapat membantu pelajar
berfikir dan membentuk kefahaman tentang masalah yang cuba dihuraikan. Dewey
mempelopori gerakan “progresivisme” dalam pendidikan. Dalam keadaan yang sama,
kita menyaksikan Jean Piaget (1951) lebih awal mengutarakan tentang
perkembangan kognitif dalam karya terjemahan, “Play, Dreams and Imitation in
Childhood” dan Vygotsky (1978) dalam “Mind in Society” yang dikaitkan dengan
perspektif konstruktivisme dalam perkembangan minda kanak-kanak.
Sejak
satu setengah dekad yang lampau, di Amerika Syarikat pengajaran dan buku teks
telah diolah agar lebih menjurus kepada penggalakan proses berfikir,
menyelesaikan masalah dan membina keupayaan untuk belajar. Inilah gerakan
konstruktivisme yang sudah dilaksanakan di Amerika Syarikat, yang juga
mengambil kira pemikiran Dewey dan Bruner. Dalam konteks tempatan, kita
menyaksikan gerakan ini sudah bermula dalam pembelajaran sains dan matematik
yang coba menyemarakkan perspektif konstruktivisme.
- Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu
teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133).
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
(1) siswa
tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal
mungkin proses keterlibatan siswa, (3)
pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara
personal.
(4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber
(4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber
Adapun
implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut:
(1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
(1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
- Pengertian Pendekatan Kontruktivisme
Pendekatan Konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yangmenekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan)
sendiri danjuga pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas).
Teori atau aliran ini merupakan landasan berfikir bagi Pendekatan
konstruktivisme, dimana dalam pengetahuan ini siswa merupakan suatu yang
dibangun atauditentukan oleh siswa sendiri. Jadi pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang diingat siswa, tetapi siswa harus
dapatmerekonstruksi pengetahuan itu tidak sekedar diingat melainkan dapatdipahaminya
kemudian memberi makan melalui pengalaman nyata.
Dalam hal ini siswa harus dilatih untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yangberguna bagi dirinya dan bergulat dengan ide-ide dan kemudian mampumerekonstruksinya dalam bentuk realita. Atas pertimbangan itu, maka proses pembejaran harus dikemas dandikelola menjadi proses merekonstruksi, bukan menerima informasi ataupengetahuan dari guru. Dalam hal ini akan membangun sendiri pengetahuannya melalui keterlibatan secara aktif dalam proses pembelajaran . Jadi perlu dipahami lebih mendalam, bahwa pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapimerupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atausejauh dialaminya.
Dalam hal ini siswa harus dilatih untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yangberguna bagi dirinya dan bergulat dengan ide-ide dan kemudian mampumerekonstruksinya dalam bentuk realita. Atas pertimbangan itu, maka proses pembejaran harus dikemas dandikelola menjadi proses merekonstruksi, bukan menerima informasi ataupengetahuan dari guru. Dalam hal ini akan membangun sendiri pengetahuannya melalui keterlibatan secara aktif dalam proses pembelajaran . Jadi perlu dipahami lebih mendalam, bahwa pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapimerupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atausejauh dialaminya.
Proses pembentukan
ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena
adanya suatu pemahaman yangbaru. Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada
pengalamanseseorang akan dunia daripada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman
itu,seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan
sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagaipengalaman
kognitif dan mental.
Konstruktivisme menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita
peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan
transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain bukan secara
prinsipil.Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja
dari pikiran yang mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seseorang guru bermaksud
mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid,pemindahan
harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh si murid lewat pengalamannya
Mengajar dalam pendekatan konstruktivisme bukan kegiatan yang memindahkan
pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yangmemungkinkan siswa
membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berartipartisipasi dengan pelajaran
dalam membentuk pengetahuan, membuatmakna, mencari kejelasan, bersikap kritis,
dan mengadakan jastifikasi. Jadi,mengajar adalah suatu belajar bentuk sendiri.
Menurut prinsip konstruktivisme seorang pengajar berperan sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Filsafat dalam pendekatan kontruktivisme guru berfungsi
sebagai mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut
:
a.
Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan muridbertanggung jawab dalam
membuat rancangan, dan penelitian. Karena itu,jelas memberi kuliah atau ceramah
bukanlah tugas utama seorang guru.
b.
Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan
murid dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan saran yang merangsang siswa
berfikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung
belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman
konflik
c.
Memonitor, mengevaluasi dan mengajukan apakah pemikiran si murid jalan atau
tidak. Guru mempertunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan murid itu
berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu
mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan murid. Jadi pada dasarnya pembelajaran
itu ditekankan pada siswa yang belajar dan bukan bagi yang mencari pengetahuan
mereka adalah mereka sendiri.
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal,
diperlukanbeberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran
yang perlu disadari oleh pengajar yaitusebagai berikut :
a. Guru
perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apayang mereka
ketahui dan pikirkan.
b. Tujuan
dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa
sungguh terlibat
c. Guru
perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan
siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah
pelajar.
d.
Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan
terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar
e. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat
mengertidan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berfikir
berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.
Karena dalam pendekatan konstruktivisme siswa harus
membangun sendiri pengetahuan mereka. Seorang guru harus melihat mereka bukan
sebagai lembaran kertas putih kosong. Karena pada dasarnya setiap siswa membawa
pengetahuan yang kemudian menjadi dasar dalam membangun sebuah pengetahuan
selanjutnya melalui pengetahuan yang diberikan yang guru. Tugas guru sendiri
membantu agar siswa mampu menkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya
yang konkrit, maka strategi perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi
siswa. Setiap guru yang baik akan mengembangkan cara mengajarnya sendiri.
Karena mengajar adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan tehnik
melainkan juga intonasi.
0 komentar:
Posting Komentar