Metode Pembelajaran Matematika



A.          Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (Pmri)

1.             Pendekatan PMRI                  
                  Kata realistic merujuk pada pendekatan dalam pendidikan matematika yang telah dikembangkan di netherland belanda, pendekatan ini mengacu pada pendapat freudenthal (Gravermeijer, 1994) yang menyatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia (mathematics as a human activity). Ini berarti bahwa matematika harus dekat dan relevan dengan kehidupan anak sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti bahwa manusia diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan nama Realistic Mathematics Education (RME).

                  Soedjadi (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistic pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika yang lebih baik. Selain itu soedjadi juga menjelaskan bahwa realita adalah hal – hal nyata yang kongkrit yang dapat diamati dan dipahami siswa dengan cara membayangkan. Sedangkan lingkungan adalah tempat dimana peserta didik berada baik dilingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Terkait dengan pendekatan pembelajaran matematika, pendekatan matematika realistic saat ini sedang dikembangkan di Indonesia, maka selanjutnya dikenal dengan sebutan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia ( PMRI). Pendekatan ini merupakan adaptasi dari pendekatan matematika realistik yang dikembangkan di belanda oleh freudenthal. PMRI merupakan pembelajaran yang menekankan aktivitas insan, dalam pembelajarannya digunakan konteks yang sesuai dengan keadaan di Indonesia.
       Dasar filosofi yang digunakan dalam PMRI ini adalah kontrukstivisme yaitu dalam memahami suatu konsep matematika siswa diharapkan membangun dan menemukan sendiri pemahamannya. Karakteristik dari pendekatan ini adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk membangun pemahaman tentang konsep yang baru dipelajarinya.
       Menurut Prof.Zulkardi (2000) PMRI  adalah pendekatan yang bertitik tolak dari hal-hal yang real ‘nyata’ bagi siswa, serta menekankan keterampilan proses berdiskusi dengsn teman sekelas sehingga pada akhirnya hasil penemuanya tersebut dapat ia gunakan untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun masalah kelompok.
2.             Karakteristik PMRI
Soedjadi, Zulkardi dan Asikin mengkarateristikan pembelajaran PMRI menjadi 5 yaitu sebagai berikut:
1.    Menggunakan masalah kontekstual ( the use of context).
        Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual ( dunia nyata) dan tidak dimulai dari       sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang diketahui oleh siswa.
2.        Menggunakan model ( use models, bridging by vertical instrument).
         Istilah model berkaitan dengan masalah situasi dan model matematika yang dikembangkan sendiri oleh siswa, mengaktualisasikan masalah kebentuk visual sebagai sarana untuk memudahkan pengajaran.
3.        Menggunakan kontribusi siswa (student contribution).
      Konstribusi yang besar diharapkan pada proses belajar mengajar datang dari siswa artinya semua pikiran ( konstruksi dan produksi) dihasilkan oleh siswa itu sendiri.
4.        Interaksi ( interactivity).
         Mengoptimalkan proses pembelajaran melalui interaksi siswa dengan guru dan siswa dengan sarana dan prasarana merupakan hal terpenting dalam pembelajaran matematika realistik.
5.        Terintegrasi dengan topic lainnya (intertwining).
          Struktur dan konsep matematika saling berkaitan maka dari itu, keterkaitan antar topik (unit pelajaran) tersebut harus dieksplorasi agar proses pembelajaran menjadi lebih bermakna.


3.             Prinsip-Prinsip PMRI
Selain karakteristik PMRI  terdapat juga prinsip –prinsip PMRI. Menurut gravemejer ada tiga prinsip dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan realistik matematika yaitu sebagai berikut:
1)        Penemuan kembali terbimbing (guided reinvention) dan matematika progesif (progresif mathematics).
Menurut prinsip ini pembelajaran matematika perlu diupayakan agar siswa mempunyai pengalaman dalam menemukan sendiri berbagai konsep, prinsip atau prosedur, dengan bimbingan guru untuk menyelesaikan berbagai jenis masalah yang ada dalam dunia nyata. Prinsip ini mengacu pada pernyataan tentang konstruktivisme bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer oleh guru tetapi hanya dapat dikonstruksi oleh siswa itu sendiri.
2)        Fenomenologi daktis ( didactical phenomenology)
Yang dimaksud dengan fenomenologi adalah para siswa dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip – prinsip atau materi lain yang terkait dengan matematika bertitik tolak pada masalah – masalah kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan atau setidaknya berasal dari masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa.
3)        Mengembangkan model – model sendiri (self developed model)
Pada prinsip ini siswa diharapkan dapat mengembangkan sendiri model atau cara menyelesaikan masalah. Model atau cara tersebut dimaksudkan sebagai wahana untuk mengembangkan proses berfikir siswa  karena dari proses berfikir tesebut siswa dapat mengembangkan sendiri model ataupun cara menyelesaikan masalah terutama masalah kontekstual.
B.          Contextual Teaching and Learning (CTL)

                Dari sekian banyak pendekatan pembelajaran yang dapat dilakukan guru di kelas, terdapat  salah satu pendekatan yang disebut Pendekatan Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning ). Dengan pendekatan ini diharapkan siswa lebih cepat memahami persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pembelajaran matematika, serta mampu menyelesaikan persoalan-persoalan itu melalui pengetahuan yang telah dimilikinya.

        Pendekatan kontekstual lahir didasarkan pada hasil penelitian John Dewey ( 1916 ) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya. Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, menyimpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu, baik secara individu maupun kelompok.
            Kebanyakan pelajar di sekolah tidak mampu membuat kaitan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dapat dimanfaatkan. Hal ini terjadi karena cara mereka memproses tujuan dan motivasi untuk belajar tidak tersentuh melalui kaidah pengajaran yang biasa dilakukan.
            Pembelajaran konstektual merupakan suatu konsep belajar di mana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan nya dalam kehidupan sehari - hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung  alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan  mengalami,  bukan menerima transfer pengetahuan dari guru. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dan bagaimana mencapainya.
            Menurut Depdiknas ( 2002 : 3 ) “ Pembelajaran Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning ) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari “.
            Suherman, Erman ( 2003 : 3 ) berpendapat,  “ Pembelajaran dengan pendekatan CTL adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil (mensimulasikan,menceritakan, berdialog) kejadian pada dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa kemudian diangkat menjadi konsep yang dibahas.
            Tugas guru dalam pembelajaran dengan pendekatan CTL adalah mengelola sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa.
            Menurut Nurhadi dan A.G. Senduk  ( 2003 : 31 ) ,  “ Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu :
            Kostruktivisme ( contractivism ), menemukan ( inquiri ),  masyarakat belajar (learning community ), bertanya ( questioning ), permodelan ( modelling ),refleksi (reflektion),  dan penilaian sebenarnya ( authentic assessment ) Suatu kelas dikatakan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual apabila menerapan ketujuh komponen tersebut dalam proses pembelajarannya.
            Langkah-langkah pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut  :
1.      Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. ( Constructivisme )
2.      Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. ( Inquiry )
3.      Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. ( Questioning )
4.       masyarakat belajar atau belajar dalam kelompok- kelompok( Learning Community )
5.       Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran ( Modeling )
6.       Lakukan refleksi di akhir pertemuan. ( Reflection )
7.       Lakukan penilaian yang sebenarnya dan objektif dengan berbagai cara.
                ( Authentic Assesment )
            Jika segala sesuatu yang berhubungan dengan pembelajaran kontekstual dipersiapkan dengan baik maka diharapkan hasilnya akan lebih meningkat.
            Penggunaan pendekatan Kontekstual dalam pembelajaran Matematika merupakan salah satu alternatif untuk menyajikan pembelajaran matematika lebih menarik dilihat dari karakteristik pendekatan tersebut. Pembelajaran akan lebih bermakna jika dimulai dari apa yang diketahui siswa, dan siswa mengalami sendiri proses pembelajaran tersebut sehingga bisa mengkonstruksi pengetahuan baru yang diperolehnya dari pengetahuan yang sudah dimiliki.
                 Dalam setiap pembelajaran matematika, guru harus  memulai menggali materi pembelajaran dari apa yang telah dimiliki siswa. Gunakan pula media pembelajaran yang bersumber dari lingkungan sekitar siswa ( prinsip alam takambang ).Hal inilah yang sering dilupakan guru. Selama ini seorang guru matematika lebih sering memaksakan pola pikirnya terhadap siswa, daripada memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk bereksplorasi.Sudah saatnya guru menyadari betul bahwa siswa memiliki sejumlah pengetahuan yang harus dikembangkan melalui proses pembelajaran yang dirancang guru.   
            Ada 5 elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual :
            1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada.
            2. Pemerolehan pengetahuan baru dengan cara mempelajari keseluruhan dulu,
                kemudian memperhatikan detail-detailnya.
            3. Pemahaman pengetahuan dengan cara penyusunan konsep sementara,
               melakukan sharing untuk memperoleh tanggapan, proses revisi dan
               pengembangan konsep.
            4. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh.
            5. Melakukan refleksi terhadap pengembangan pengetahuan tersebut.
            Namun demikian keberhasilan sebuah pendekatan tentu saja sangat tergantung pada kemampuan dan  kesiapan guru dalam memanfaatkan semua komponen yang terlibat di dalamnya. Semuanya tergantung niat dan kesungguhan guru dalam menciptakan sebuah proses pembelajaran.
           
1)             Peran Guru dalam Pendekatan Kontekstual

                          Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya.Maksudnya guru lebih berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered

2)             Komponen CTL
Ø  Membuat hubungan yang bermakna (making meaningful connections) antara sekolah dengan konteks kehidupan nyata ,sehingga siswa merasakan bahwa  belajar penting untuk masa depannya .

Ø  Melakukan pekerjaan signifikan.Pekerjaan yang memiliki suatu tujuan ,memiliki kepedulian tehadap orang lain,ikut serta dalam menentukan pilihan,dan menghasilkan produk .
Ø  Pembelajaran mandiri (Self-Regulated Learning) yang membangun minat individual siswa untuk bekerja sendiri ataupun kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna dengan mengaitkan antara materi ajar dan konteks kehidupan nyata/sehari-hari .
Ø  Bekerjasama (Colaborating) untuk membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok ,membantu mereka untuk mengerti bagaimana berkomunikasi dengan yang lain dan dampak apa yang ditimbulkannya .
Ø  Berpikir kritis dan kreatif (Critical dan Creative Thinking) siswa diwajiban untuk memanfaatkan berpikir kritis dan kreatifnya dalam pengumpulan,analisis dan sintesis data,memahami isu dan fakta dan pemecahan masalah .
Ø  Pendewasaan individu (nurturing individual) dengan mengenalnya,memberikan perhatian,mempunyai harapan tinggi terhadap siswa dan memotivasinya .
3)             Pendekatan CTL



Ø  Problem based learning ,yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar melalui berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah dalam rangka memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran .
Ø  Authentic instruction ,yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenan siswa untuk mempelajari konteks bermakna melalui pengembangan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata .
Ø  Inquiry-Based learning ,yaitu pendekatan pembelajaran yang mengikuti metodelogi sains dan memberikan kesempatan untuk pembelajaran bermakna .
Ø  Project-Based Learning , Pendekatan pembelajaran yang memperkenankan siswa untuk bekerja mandiri dalam mengkonstruk pembelajarannya (pengetahuan dan keterampilan baru) .
Ø  Work-Based Learning,  Pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi ajar dan menggunakannya kembali ditempat kerja .
Ø  Service Learning , yaitu pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui proyek atau tugas terstruktur dan kegiatan lainnya .
Ø  Cooperative Learning , yaitu pendekatan pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam rangka memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar

4)             Implementasi CTL

            Sesuai dengan faktor kebutuhan individual siswa,maka untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran dan pengajaran kontekstual guru seharusnya :

·         Merencanakan pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental siswa (developmentally appropriate) .
·         Membentuk grup belajar yang saling tergantung (interpendent learning group)
·         Mempertimbangkan keragaman siswa (disverstiy of student)
·         Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri dengan 3 karakteristik umumnya (kesadaran berpikir,penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan).
·         Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika ia diberi kesempatan untuk bekerja,menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru .
·         Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry) agar siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui penemuannya sendiri .
·         Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui bertanya (quesioning) .
 C.         Problem Solving (Pemecahan Masalah)

Metode ini sangat tepat digunakan dalam proses belajar mengajar matematika, seperti yang dikatakan oleh P Manulu dalam bukunya yang berjudul Strategi Mengajar dengan Pemecahan Masalah bahwa :
Pemecahan masalah yang bersifat matematika dapat menolong siswa meningkatkan daya analisis dan dapat membantu mereka dalam pemakaian daya ini pada berbagai situasi. Pemecahan masalah juga dapat menolong siswa dalam mempelajari fakta, ketrampilan, konsep dan prinsip matematika.”
               Metode problem solving merupakan metode yang merangsang berfikir dan menggunakan wawasan tanpa melihat kualitas pendapat yang disampaikan oleh siswa. Seorang guru harus pandai-pandai merangsang siswanya untuk mencoba mengeluarkan pendapatnya.
       Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
            Metode pemecahan masalah merupakan suatu metode pengajaran yang mendorong siswa untuk mencari dan memecahkan persoalan – persoalan. Adakalanya manusia memecahkan masalah secara instinktif ( naluriah ) maupun dengan kebiasaan, yang mana pemecahan tersebut biasanya dilakukan oleh binatang.
           Pemecahan secara instinktif merupakan bentuk tingkah laku yang tidak dipelajari, seringkali berfaedah dalam situasi yang luarbiasa. Misalnya seseorang yang dalam keadaan terjepit karena bahaya yang datangnya tak disangka, maka secara spontan mungkin ia melompati pagar atau selokan dan berhasil, yang seandainya dalam keadaan biasa hal itu tak mungkin dilakukan.
Dalam situasi yang problematis, baik manusia maupun binatang, dapat menggunakan cara “coba – coba, salah”, mencoba lagi ( trial and error ) untuk memecahkan masalahnya. Akan tetapi taraf problem solving pada manusia lebih tinggi karena manusia sanggup memecahkan masalah dengan rasio ( akal ), disamping memiliki bahasa. Oleh karena itu manusia dapat memperluas pemecahan masalahnya di luar situasi konkret.Dalam menghadapi masalah yang lebih pelik, manusia dapat menggunakan cara ilmiah. Cara ilmiah untuk memecahkan masalah pada umumnya mengikuti langkah – langkah sebagai berikut :
a. Memahami masalah
            Masalah yang dihadapi harus dirumuskan, dibatasi dengan teliti. Bila tidak, usahanya akan sia – sia.
b. Mengumpulkan data
           Kalau masalah sudah jelas, dapat dikumpulkan data / informasi / keterangan – keterangan yang diperlukan.
c. Merumuskan hipotesis
          Jawaban sementara, yang mungkin memberi penyelesaian dan keterangan keterangan yang diperoleh, mungkin timbul suatu kemungkinan yang memberi harapan yang akan membawa pada pemecahan masalah.
d. Menilai hipotesis
         Dengan jalan berpikir dapat diperkirakan akibat – akibat suatu hipotesis. Kalau ternyata bahwa hipotesis ini tidak akan memberi basil baik, maka dimulai lagi dengan langkah kedua.
e. Mengadakan eksperimen / menguji hipotesis
         Bila suatu hipotesis memberi harapan baik, maka diuji melalui eksperimen. Kalau berhasil, berarti masalah ini dipecahkan. Tetapi kalau tidak berhasil, harus kembali lagi dari langkah – langkah kedua atau ketiga.
f. Menyimpulkan
         Laporan tentang keseluruhan prosedur pernecahan masalah yang diakhiri dengan kesimpulan. Di sini kernungkinan dapat dicetuskan suatu prinsip atau hukum. Kesanggupan memecahkan masalah harus diajarkan kepada para siswa, sebab pemecahan masalah secara ilmiah ( scientific method ) berguna bagi mereka untuk memecahkan masalah yang sulit. Metode ini selain dapat digunakan untuk mernecahkan masalah dalam berbagai bidang studi, juga dapat digunakan untuk pemecahan yang berkaitan dengan kebutuhan siswa dalam kehidupan sehari – hari.

a)             Ciri-Ciri
        Gaya mengajar pemecahan masalah terdiri atas masukan informasi pemikiran, pemilihan dan respon. Masalahnya harus dirancang sehingga jawabannya bukan hanya satu jawaban. Bila demikian, gaya ini berubah menjadi gaya yang disebut diskoveri tertuntun.

          Masalahnya dirancang dari yang mudah ke yang sukar. Misalnya, “apa perbedaan hasil lemparan bola dalam keadaan kedua kaki diam di atas lantai dengan hasil lemparan dalam posisi kedua kaki sambil bergerak?” Pertanyaan bisa semakin sulit. Misalnya, “bagaimana bentuk gerakan lanjutan kaki untuk menendang dalam sepak bola agar bola tidak melambung jauh diatas seperti kelas 5 dan 6 SD. Makin meningkat usia siswa, seperti sudah menginjak jenjang SLTP, maka mutu pertanyaannya pun kian meningkat. Pertanyaan seperti ini dimaksudkan untuk merangsang penalaran siswa.

Langkah-langkah pelaksanaan gaya mengajar pemecahan masalah sebagai berikut:

• Penyajian masalah.
Guru menyajikan masalah kepada siswa dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan yang merangsang untuk berfikir. Tidak ada penjelasan atau demonstrasi karena pemecahannya bersumber dari anak.
• Tentukan Prosedur.
 Para siswa harus memikirkan prosedur yang dibutuhkan untuk mencapai pemecahan. Bila usia anak masih muda seperti di kelas awal (kelas 1, 2, atau 3), maka persoalan yang diajukan juga lebih sederhana.
• Bereksperimen dan mengeksplorasi.
Dalam bereksprerimen siswa mencoba beberapa kemungkinan cara memecahkan masalah serta menilai dan membuat sebuah pilihan. Ketika mencari-cari jawaban, anaklah yang menentukan arah pemecahannya. Sementara guru hanya berperan sebagai penasihat, seperti menjawab pertanyaan membantu, memberikan komentar, dan mendorong siswa. Namun, ia tidak menemukakan jawaban. Waktu harus dirancang cukup untuk mencari jawaban.
• Mengamati, mengevaluasi, dan berdiskusi.
Setiap anak perlu memperoleh kesempatan untuk mengemukakan jawaban dan mengamati apa yang ditemukan siswa lainnya. aneka macam hasil temuan dapat dipertunjukkan oleh anak secara perorangan, kelompok kecil, rombongan yang agak besar, atau bagian dari kelas. Diskusi terpusat pada pengujian pemecahan yang khas.
• Penghalusan dan perluasan.
Setelah mengamati pemecahan yang diajukan siswa lainnya dan mengevaluasi alasan di balik pemecahan yang dipilih, apa yang perlu dilakukan. Setiap anak memperoleh kesempatan untuk bekerja kembali melakukan pola geraknya, menggabungkan satu gagasan dengan gagasan lainnya.

Adapun kelebihan dan kekurangan metode pemecahan masalah ini adalah :
Kelebihannya :
·      Dengan metode ini potensi intelektual dari dalam diri siswa akan meningkat.
·      Dengan meningkatkan potensi intelektual dari dalam diri siswa maka akan menimbulkan motivasi intern bagi siswa.
·      Dengan menggunakan metode ini menyebabkan materi yang telah dipelajari akan tahan lama.
·      Masing-masing siswa diberi kesempatan yang sama dalam mengeluarkan pendapatnya sehingga para siswa merasa lebih dihargai dan yang nantinya akan menumbuhkan rasa percaya diri.
·      Para siswa akan diajak untuk lebih menghargai orang lain
·      Untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan lisannya
·      Mengajak siswa berpikir secara rasional
·      Siswa aktif
·      Mengembangkan rasa tanggung jawab
·      Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan
·      Berpikir dan bertindak kreatif.
·      Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
·      Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan
·      Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
·      Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
·      Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.
Kekurangannya :
§  Bagi siswa yang sangat kurang pemahaman dasar matematika maka pengajaran dengan metode ini akan sangat membosankan dan menghilangkan semangat belajarnya.
§  Bila guru tidak berhati-hati dalam memilih soal pemecahan masalah akan berubah fungsinya menjadi latihan, apabila tanpa memahami konsep yang dikandung soal-soal tersebut.
§  Karena tidak melihat kualitas pendapat yang disampaikan terkadang penguasaan materi sering diabaikan.
§  Metode ini sering kali menyulitkan mereka yang sungkan mengutarakan pendapat secara lisan.
§  Memakan waktu lama.
§  Kebulatan bahan kadang – kadang sukar dicapai.
§  Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
§  Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.
A.           PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
Ø  Sejarah Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme bukanlah satu konsep baru. Ia berasal daripada bidang falsafah dan telah digunakan dalam bidang sosiologi dan antropologi dan juga dalam bidang psikologi kognitif dan pendidikan. Pada tahun 1710, ahli falsafah konstruktivis yang pertama, iaitu Giambatista Vico, mengatakan … “one only knows something if one can explainit”(Yager,1999).
Immanuel Kant menyokong pendapat ini dan mengatakan bahawa manusia bukanlah penerima maklumat yang pasif. Misalnya, pelajar menerima maklumat dengan aktif, menghubungkannya dengan maklumat terdahulu yang telah diasimilasinya, dan menjadikan maklumat itu miliknya dengan membina kefahaman atau membuat interpretasi ke atas maklumat tersebut (Cheek, 1992). Seterusnya, perspektif konstruktivisme ini terhasil daripada kajian Piaget, Vygotsky, ahli psikologi gestalt, Bartlett, Bruner, Von Glaserfeld, Anderson, Dewey, Papert dan Confrey.
Pembelajaran bermakna (meaningful learning), mengikut John Dewey (1966), melibatkan “belajar dengan membuat” (learning by doing), yang kemudiannya dapat membantu pelajar berfikir dan membentuk kefahaman tentang masalah yang cuba dihuraikan. Dewey mempelopori gerakan “progresivisme” dalam pendidikan. Dalam keadaan yang sama, kita menyaksikan Jean Piaget (1951) lebih awal mengutarakan tentang perkembangan kognitif dalam karya terjemahan, “Play, Dreams and Imitation in Childhood” dan Vygotsky (1978) dalam “Mind in Society” yang dikaitkan dengan perspektif konstruktivisme dalam perkembangan minda kanak-kanak.
Sejak satu setengah dekad yang lampau, di Amerika Syarikat pengajaran dan buku teks telah diolah agar lebih menjurus kepada penggalakan proses berfikir, menyelesaikan masalah dan membina keupayaan untuk belajar. Inilah gerakan konstruktivisme yang sudah dilaksanakan di Amerika Syarikat, yang juga mengambil kira pemikiran Dewey dan Bruner. Dalam konteks tempatan, kita menyaksikan gerakan ini sudah bermula dalam pembelajaran sains dan matematik yang coba menyemarakkan perspektif konstruktivisme.



Ø  Teori Belajar Konstruktivisme
A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

             Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
         Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
              Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
            Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
(1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,    (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,  (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
(4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

Ø  Pengertian Pendekatan Kontruktivisme
Pendekatan Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) sendiri dan juga pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Teori atau aliran ini merupakan landasan berfikir bagi Pendekatan konstruktivisme, dimana dalam pengetahuan ini siswa merupakan suatu yang dibangun atau ditentukan oleh siswa sendiri. Jadi pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang diingat siswa, tetapi siswa harus dapat merekonstruksi pengetahuan itu tidak sekedar diingat melainkan dapat dipahaminya kemudian memberi makan melalui pengalaman nyata.
              Dalam hal ini siswa harus dilatih untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergulat dengan ide-ide dan kemudian mampu merekonstruksinya dalam bentuk realita. Atas pertimbangan itu, maka proses pembejaran harus dikemas dan dikelola menjadi proses merekonstruksi, bukan menerima informasi atau pengetahuan dari guru. Dalam hal ini akan membangun sendiri pengetahuannya melalui keterlibatan secara aktif dalam proses pembelajaran . Jadi perlu dipahami lebih mendalam, bahwa pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau sejauh dialaminya.
               Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia daripada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
            Konstruktivisme menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain bukan secara prinsipil. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seseorang guru bermaksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid, pemindahan harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh si murid lewat pengalamannya Mengajar dalam pendekatan konstruktivisme bukan kegiatan yang memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajaran dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan jastifikasi. Jadi,mengajar adalah suatu belajar bentuk sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme seorang pengajar berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Filsafat dalam pendekatan kontruktivisme guru berfungsi sebagai mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut :
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan, dan penelitian. Karena itu, jelas memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan murid dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan saran yang merangsang siswa berfikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik
c. Memonitor, mengevaluasi dan mengajukan apakah pemikiran si murid jalan atau tidak. Guru mempertunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan murid itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan murid. Jadi pada dasarnya pembelajaran itu ditekankan pada siswa yang belajar dan bukan bagi yang mencari pengetahuan mereka adalah mereka sendiri.
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar yaitu sebagai berikut :
a. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apayang mereka ketahui dan pikirkan.
b. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat
c. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.
d. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar
e. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengertidan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berfikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.
Karena dalam pendekatan konstruktivisme siswa harus membangun sendiri pengetahuan mereka. Seorang guru harus melihat mereka bukan sebagai lembaran kertas putih kosong. Karena pada dasarnya setiap siswa membawa pengetahuan yang kemudian menjadi dasar dalam membangun sebuah pengetahuan selanjutnya melalui pengetahuan yang diberikan yang guru. Tugas guru sendiri membantu agar siswa mampu menkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkrit, maka strategi perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi siswa. Setiap guru yang baik akan mengembangkan cara mengajarnya sendiri. Karena mengajar adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan tehnik melainkan juga intonasi.





0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.